Dalam sekali
perjalanan ke kampus, banyak cerita hari ini, entahlah seperti berhubungan. Ketika
sedang di angkot menuju kampus, pas betul satu angkot dengan beberapa anak SMP
13 Depok yang sengaja dipulangkan lebih awal karena sekolahnya banjir. Maklum,
memang sekarang lagi musim hujan. Sebenarnya pun hari ini mager kemana-mana,
dikarenakan satu anggota badan cenat-cenut, jadi kebawa cenat-cenut keseluruh
badan. Tapi saya tetap berangkat walaupun hujan. Prioritas. :)
Seperti yang
sudah diketahui kalau pelajar itu bayar angkotnya lebih “didiskon” daripada
penumpang non pelajar. Makanya tadi walaupun udah penuh sama anak sekolah itu,
kang angkotnya tetap aja berhenti kalau ada penumpang lain mau naik. Nah, ujung-ujungnya
di anak sekolah ini “gelantungan” di pintu. Terjadi percakapan singkat kala itu
:
Kang Angkot (KA)
: “Eh, cah (bocah –red), bediri sono. Tuh ibu mau masuk (dengan nada menyuruh
tapi gak galak), udah biarin keujanan, biar emak lu percaya lu pulang cepet
karena kebanjiran.”
Anak Sekolah : “waduh jangan lah bang,ntar sakit saya. Kagak sekolah dah. Kagak jadi
pinter ntar”
KA : “Ah yang
pinter juga gak bias ngatasin banjir.”
Denger itu
langsung jleb. Segitu gampangnya menilai cara mengatasi banjir hanya dari segi
dia pintar atau enggak. Paradigma kayak gitu emang udah pasti kebentuk buat
orang-orang kayak bapak angkot tadi, tapi yang perlu diketahui adalah banjir
itu terjadi bukan karena orang pintar gak bisa ngatasin banjir tapi karena
perilaku orang pintar dan orang yang gak pintar yang menyebabkan banjir itu
terjadi. Seperti buang sampah sembarangan, kebiasaan kayak gitu bukan cuma kerjaan
orang pinter aja, tapi orang gak pinter juga. Tapi yang namanya paradigma,
susah buat diubah apalagi cuma dengan omongan, jadi buat orang-orang yang
ngerasa pintar (baca : mahasiswa, orang yang berjas rapi dan sejenisnya), coba
deh yuk atasi banjir. Karena zaman sekarang, orang dilihat dari apa yang ia
lakukan, bukan lagi apa teori yang ia katakan. Lo punya cara ngatasin banjir? Sok
atuh wujudin ide itu dan buat paradigma bapak angkot tadi berubah karena
langkah konkret kalian itu. Assedap.
Singkat cerita
sampailah saya di kampus, di fakultas biru tua kebanggaan #eaa, setelah tujuan
ke kampus selesai saya pulang, di halte ketika menunggu bikun, ada seorang
kakek penjual lepet (sejenis makanan dari ketan dicocol pake bumbu kelapa.
Spoiler for kue
lepet :
Sebelum beli
sempat kepikiran, kakek ini jualan makanan kayak gini kok di lingkungan kampus yang
seperti kita tau kebanyakan mahasiswa lebih suka makanan jenis modern ketimbang
makanan tradisional kayak gitu dan yang lebih hebat lagi, saat itu lagi hujan
dan sepi (karena lagi masa libur semester), sementara itu udah sore hari tapi
dagangan kakek itu masih banyak banget. Jualannya dipikul. Kenapa gak memilih
jualan di kampung-kampung aja, yang notabene pasti lebih mudah menemukan orang
yang akan membeli. Tapi tetap kagum, Subhanallah, giat sekali kakek mencari
rezeki :’) Berkah ya kek… Saya membeli beberapa dan menghabiskannya di rumah
bareng ibu. Pas makan kepikiran, sekarang kakeknya lagi dimana yaaaaa?
Setengah jam
menunggu bikun tapi gak datang-datang. Beruntung ada bikun kelas ekstensi ekonomi yang
lewat, terus ditawarin naik, mungkin karena nunggu bikunnya di halte ekonomi
dikira anak ekonomi, Hehe..
Setelah itu naik
angkot pulang menuju ke rumah, di pertigaan Juanda angkotnya berhenti karena
lampu merah, lalu seorang laki-laki usia produktif, kayaknya sih baru 20an,
dengan pakaian berkabung hehe, maksudnya serba hitam, udah bisa ngebayangin? Oke,
saya deskripsiin sedikit, kaos hitam, jeans yang ketat sama betis, jaket tanpa
lengan, lengkap dengan aksesoris, gelang, , topi, lubang anting yang kelewat
panjang dan lebar serta rambut berwarna. Memanfaatkan moment lampu merah untuk
menyumbangkan suaranya (baca : ngamen), dengan iringan tepukan tangan dirinya
sendiri, ia menyanyikan sebuah lagu yang berisi umpatan dan cacian pada
orang-orang berkemeja rapi. Menyalahkan mereka karena rakus dengan jabatan, dan
tidak mengurusi orang-orang bawah. Dengan penekanan pada beberapa lirik,
jadilah lagu itu seperti orasi yang dinadakan.
Selagi dia nyanyi saya resapi
maknanya, terus jadi kepikiran percakapan singkat anak SMP dan kang angkot tadi
serta kakek penjual lepet yang gigih itu.
Mengapa si
pemuda ini bisanya cuma mengumpat? Andai saya, ia mau berusaha sedikit untuk
belajar, pasti kehidupannya akan lain, mungkin 2045 nanti dialah yang memimpin
RI ini, tidak mesti jadi presiden, bisa saja menjadi orang berkemeja rapi
seperti orang yang dia umpat di lagunya tadi. Dan dengan kekuasaannya itu, ia
bisa mengubah Indonesia jadi lebih baik, tidak berorientasi jabatan, tapi lebih
ke menjalankan amanah.
Mungkin juga dia bisa jadi orang pintar untuk mengatasi
banjir seperti harapan kang angkot itu. Atau jika memang ia sudah tidak mau belajar,
berwirausahalah, coba berdagang. hasilnya lebih barokah, insyaAllah. Masih muda masa kalah sama kakek penjual lepet tadi. Secara apapun
usia 20an pasti lebih unggul dari usia seorang kakek. Perbedaannya cuma satu,
dan itu sangat jauh. Hanya “mau” atau “tidak mau”. Karena seperti kata senior
waktu ospek, “Jarak bisa dan gak bisa itu cuma sehasta, tapi jarak mau dan
tidak mau itu kayak bumi dan langit.”
Sepenggal cerita yang sebenarnya mau dishare di Facebook, tapi sepertinya terlalu panjang
hehe, jadilah ini dibuat di blog saja. Selamat membaca, semoga mendapat
sesuatu setelah berkunjung kesini, jangan lupa tinggalkan jejak. Boleh di kolom
komentar atau mention ke @atika_widi.
Terimakasih.
Senin, 20 Januari 2014
Atika Widiastuti
Sedang membayangkan masa depan.