Selasa, 20 September 2016
ketika saya sedang berjalan dari kost menuju kampus, tak sengaja bertemu dengan seorang Ibu, yang kemudian saya ketahui bernama Ibu Rina. Sembari menggendong anaknya yang berusia 2 tahun, bu Rina berusaha menjual kerudung-kerudung bergo bekas miliknya, lima ribu rupiah perpotongnya. Keringatnya bercucuran, padahal saat itu belum siang, jam tangan saya belum genap menunjuk angka 10. Saya sempat hampir saja menghiraukan dagangannya, karena terburu-buru, takut tertinggal kelas yang dimulai pukul 10 dan sama sekali ga boleh telat.
ketika saya sedang berjalan dari kost menuju kampus, tak sengaja bertemu dengan seorang Ibu, yang kemudian saya ketahui bernama Ibu Rina. Sembari menggendong anaknya yang berusia 2 tahun, bu Rina berusaha menjual kerudung-kerudung bergo bekas miliknya, lima ribu rupiah perpotongnya. Keringatnya bercucuran, padahal saat itu belum siang, jam tangan saya belum genap menunjuk angka 10. Saya sempat hampir saja menghiraukan dagangannya, karena terburu-buru, takut tertinggal kelas yang dimulai pukul 10 dan sama sekali ga boleh telat.
Maha
Baik Allah, atau mungkin memang sudah ditakdirkan, sang Ibu lantas bercerita
tentang alasan mengapa ia berjualan kerudung-kerudung miliknya. Sembari
mengeluarkan surat tagihan pembayaran sekolah anaknya, yang jumlahnya memang
tidak sedikit. ia berkata : “Untuk bayaran
sekolah anak saya, Neng. Senin dia ujian, tapi khawatir gak boleh ikut karena
belum bayaran.” Alasan yang membuat saya sejenak mendengarkan ceritanya dan
menjadi terdiam, tiba-tiba saya teringat akan ibu saya.
Dengan
perantara surat tagihan itu, ia bercerita ringkas tentang kehidupannya, dimana
lokasi tempat tinggalnya, dimana sekolah anaknya, dan hal mendasar lainnya. “Ibu, saya balik ke kost-an sebentar, ibu
tunggu sini ya.”
Saya izin pamit sebentar kembali ke kost-an, mengambil sejumlah uang, karena memang tidak membawa uang lebih dari sepuluh ribu rupiah di dompet saat itu (sebenarnya untuk meredam keinginan jajan-jajan yang gak perlu, maklum anak kosan hehe), tetapi belum cukup untuk meng-cover semua tagihan sekolah anaknya itu.
Saya izin pamit sebentar kembali ke kost-an, mengambil sejumlah uang, karena memang tidak membawa uang lebih dari sepuluh ribu rupiah di dompet saat itu (sebenarnya untuk meredam keinginan jajan-jajan yang gak perlu, maklum anak kosan hehe), tetapi belum cukup untuk meng-cover semua tagihan sekolah anaknya itu.
Saya meminta kontak sang Ibu, untuk ‘kemungkinan-kemungkinan baik’ ke
depannya. Namun ia berkata bahwa tak hapal nomer telepon anaknya, maka saya
memberikan kontak saya, agar dihubungi setibanya ia dirumah.
“Ibu,
saya ada kelas jam 10, jadi mau langsung ke kampus, Ibu juga langsung pulang ke
rumah ya. Gak usah keliling-keliling lagi.”
“Iya. Terimakasih banyak ya Neng…
Ya Allah bersyukur banget ketemu Eneng. Yang pinter ya sekolahnya, iya, saya
langsung pulang, nanti anak saya hubungin Eneng ya.”
Selalu
terharu kalau didoain kayak gitu, emang baper parah ini anaknya. Dan entah,
nama saya tiba-tiba berubah jadi Eneng, padahal saya udah memperkenalkan diri,
hehe
Sekitar
habis Zuhur selesai kelas, ada telepon masuk, ternyata dari sang Ibu. Lagi-lagi
berterima kasih tanpa henti.
Hari ini, Sabtu, 24 September 2015
Saya
dan beberapa teman dari Yayasan Rumah Iqro Insani, datang bersilaturahim ke
rumah beliau, melanjutkan ‘kemungkinan-kemungkinan baik’ yang saya kemukakan di
awal. Di sebuah kontrakan petak, ibu Rina, Pak
Agus, dan lima orang anaknya tinggal. Sehari-hari bapak bekerja sebagai ojek pangkalan dengan status
kendaraan milik temannya, jadi bagi hasil. Sementara sang Ibu merupakan ibu
rumah tangga yang mengurus 5 orang anak, Ibu juga bekerja, namun tidak tetap,
hanya jika ada tetangga yang memerlukan bantuan tenaganya saja, untuk mencuci,
menyetrika pakaian, dan lain-lain.
Selesai
bersilaturahim dari kediaman Ibu Rina, saya dan teman-teman menuju sekolah sang
anak, di bilangan Srengseng Sawah untuk menemuinya. Tiba-tiba hujan turun
dengan derasnya.
Kami bertanya beberapa hal mendasar pada Hilmi, nama sang Anak, apa
kebutuhan untuk pendidikannya? bagaimana biasanya ia berangkat sekolah? pembayaran
untuk ujian-ujian yang sebelumnya bagaimana? juga mencicil tagihan-tagihan
pembayaran sebagian, belum semua.
----Social
Project Bidikmisi dan Program Kakak Asuh Rumah Iqro----
Pada
salah satu Seminar Bidikmisi untuk angkatan 2013, diputar video tentang Pak
Budi Soehardi, CNN Hero of the Year 2009, Captain Pilot Singapore Airlines, yang mendedikasikan harta bahkan
hidupnya untuk banyak anak asuhnya di Panti Roslin, NTT. Juga pembicara pada Seminar Bidikmisi di semester selanjutnya dengan program "Sedekah
Air". Menjadi bahagia dengan cara membahagikan orang lain.
Maka
kami, para penerima manfaat beasiswa diarahkan untuk melakukan hal serupa,
melalukan sebuah proyek sosial di jangka waktu Juli sampai September 2016. Alih-alih
mengerjakan ‘tugas’, saya berfikir untuk membuat social project yang
berkelanjutan, tidak terbatas pada periode Juli sampai September saja.
Maka
saya, dan beberapa teman dari Yayasan Rumah Iqro Insani menggagas sebuah
program penyaluran beadidik dan pembinaan bagi pelajar dan mahasiswa yang
memiliki keterbatasan dalam hal finansial
namun memiliki semangat yang tinggi dalam pendidikan. Program yang diharapkan
dapat membantu meringankan beban keluarga dengan membantu dalam hal pembiayaan
biaya sekolah atau kuliah agar semakin banyak generasi muda yang dapat menikmati
pendidikan tinggi hingga sarjana atau sederajat, mampu keluar dari himpitan
ekonomi dengan adanya
peningkatan tingkat pendidikan dalam keluarga dan diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga di masa depan. Berangkat dari hal itu, maka pada Agustus
2016, diluncurkan sebuah program yayasan dengan nama Program Kakak Asuh dengan
jargonnya “Sarjana di tiap Keluarga.”.
Alhamdulillah,
sudah ada sekitar 23 adik asuh yang terdaftar saat ini, dengan Hilmi, anak
pertama Bu Rina, salah satunya penerimanya, insyaAllah.
Kita
memang tidak pernah tahu akan dipertemukan dengan siapa dan dalam kondisi yang
bagaimana. Namun, kita bisa mencipta kesan apa yang ingin dapatkan setelah kita
dipertemukan.
Hujan deras sore tadi, mungkin pertanda bagi kita untuk senantiasa bersyukur dengan hidup. Juga, katanya berbagi itu salah satu kunci kebahagiaan, maka lakukan saja. Just do it. Selama kamu yakin dengan tujuanmu, Allah pasti beri kemudahan.
Hujan deras sore tadi, mungkin pertanda bagi kita untuk senantiasa bersyukur dengan hidup. Juga, katanya berbagi itu salah satu kunci kebahagiaan, maka lakukan saja. Just do it. Selama kamu yakin dengan tujuanmu, Allah pasti beri kemudahan.
Bagi
teman-teman yang ingin berpartisipasi menjadi Kakak Asuh dalam Program Kakak
Asuh dan membantu Hilmi-Hilmi lainnya, dalam bentuk apapun, dapat menghubungi
saya di atikawidi11@gmail.com. Sesuatu itu, mungkin kecil bagi kita, namun di
tangan orang yang memerlukan, nilainya akan sangat berbeda.
Terimakasih
telah sabar dan menyempatkan diri membaca cerita panjang pada laman blog saya.
Atika
Widiastuti
Teknik Lingkungan 2013
Fakultas Teknik Universitas Indonesia
Poster Program Kakak Asuh |
Silaturahim ke kediaman ibu Rina |
0 komentar:
Posting Komentar