Siang itu
matahari bersinar dengan terangnya, di pekan kedua ujian di kampusku. Ujian
kali ini take home, dimulai pukul 8
pagi tadi, lalu dikumpulkan keesokan harinya di jam yang sama. Aku bersamanya
berada diantara kumpulan orang-orang yang sedang menunggu cheatsheet untuk difotokopi. Perempuan berkulit putih, dengan
rambut lurus sebahu, bermata sipit meski bukan keturunan chinnese. melainkan betawi aseli. Kania Puteri namanya, Aku
memanggilnya Kania.
Sudah menjadi
kebiasaan di angkatan kami memang, pada setiap mata kuliah, kami membagi materi
bahasan sebanyak personil di angkatan, untuk dipelajari masing-masing
bagiannya, lalu diringkas pada selembar HVS, setelah itu dikumpulkan ke satu
orang, lalu difotokopi sebanyak anak di angkatan. Kadang kami membahasnya
bersama di suatu foodcourt yang
lumayan luas di daerah kost-kost-an sebrang kampus kami. Semata-mata agar
semuanya paham akan materi kuliah yang telah diajarkan.
Bicara tentang
Kania, maka tak bisa jika kami tidak mengingat kucing. Ya, Kania adalah
penyayang kucing nomer satu. Lihat saja pergelangan tangannya, penuh dengan
bekas cakaran kucing yang pada tiap goretannya, punya cerita masing-masing. Ia
ceritakan semuanya sembari tertawa, seolah tidak ada sakit-sakitnya itu bekas
cakaran. Kami mendengarnya sambil bergidik ngeri, seolah tangan kami yang
tercakar kucing.
Bosan Aku
menunggu cheatsheet yang tak kunjung
datang, aku masuk ke dalam kelas. Tak berapa lama ada yang menarik perhatian
Kania. Pada tempat sampah yang tak jauh dari tempat kami berkumpul, seekor
kucing kampung berwarna putih kombinasi hitam sedang mengais-ngais sisa makanan
di sana. Kania melihatnya saja, lucu katanya. Tak ia ganggu, pun sekedar dihampiri.
Di saat itu, seorang laki-laki sepantarannya tiba-tiba saja melemparkan batu ke
arah sang kucing, melihat si kucing tak bergeming, lalu ia menendangnya. Seolah
kucing itu mengganggu jalannya, padahal tempat sampah tempat si kucing mengais
makanan ada di pinggir jalan, sama sekali tidak menganggu jalan si laki-laki
sepantaran Kania itu.
Seketika Kania
menghampiri si kucing, di bawanya ke dalam kelas, dibelai-belai lembut
bulu-bulunya, sambil sesegukan menahan tangis. Aku memandang matanya tanpa
berkata apapun, kontak mata ku dengannya seolah menyiratkan sesuatu, seolah tau
ia menangis karena melihat si kucing diperlakukan demikian. Ia bercerita padaku
tentang kejadian yang ia lihat tadi, bagaimana si kucing di lempar batu,
bagaimana si kucing di tending, dan bagaimana-bagaimana lainnya. Tangisnya
tumpah tak bisa ditahan lagi, padahal si kucing dalam keadaan baik-baik saja,
masih asik menikmati belaian Kania pada bulu-bulunya. Aku jadi teringat pada
kisah Rasulullah, dan kucing kesayangannya, yang membuat Rasulullah lebih memilih
melubangi jubah tempat kucingnya tidur ketimbang membangunkan si kucing demi
mengambil jubahnya.
Setelah reda
tangisnya, ia segera pergi ke kantin, memesan nasi putih dan ikan goreng. Ia
kembali ke kelas, mengaduk-ngaduk nasi dan ikan pesanannya, mencampurnya
menjadi satu. Teman-teman lain yang menyaksikan bertanya-tanya apa yang sedang
ia lakukan, ia tak bercerita, takut tangisnya tumpah lagi. Setelah dirasa
campurannya sudah merata, ia memberikan makanan pesanannya itu pada si kucing,
menjauh dan membiarkan si kucing makan, meski tetap ia awasi dari kejauhan.
Teman-teman yang bertanya-tanya tadi seolah langsung mengerti dan ber-oh
panjang bersama.
Hati
Kania lembut sekali. Aku merasakan sayangnya tulus pada kucing itu. Entah hanya
Kania, atau memang semua para penyayang akan berlaku seperti itu. Tapi hari ini
Aku dapat pelajaran lagi.. Allah
memberikan kita perasaan sayang, dan rasa untuk saling menyayangi, tapi
ternyata sayang itu tak terbatas pada manusia saja. Juga pada hewan dengan
tidak berlaku jahat padanya, bahkan membunuh hewan-hewan pun harus ada adab dan
sebab-sebabnya, meski itu seekor kecoa. Juga pada tumbuhan, dengan tidak
menginjak rumput atau memetik bunga sembarang sesuka hati. Kau pernah mendengar
cerita tentang pohon tua di Pulau Solomon? untuk menebangnya, tak perlu
gergaji, parang, atau perkakas lainnya, cukup kau caci maki dan sumpah serapahi
saja ia setiap hari, ia akan mati dengan sendirinya. Ternyata mereka pun punya perasaan.
sumber : klik |
0 komentar:
Posting Komentar