Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 29 Desember 2015, saya dan beberapa teman pergi ke Gunung Batu dan Kawasan wisata Leuwi Hejo. Trip ke dua buah tempat wisata dalam satu hari, menggunakan sepeda motor. Singkat cerita, kami pergi berdelapan orang, perempuan empat, sisanya laki-laki. Rentang usia kami beragam, dari mulai SMA, kuliah, fresh graduate, hingga yang sudah kerja. Kami teman di satu yayasan sosial keagamaan di lingkungan tempat tinggal, maka umur yang berbeda sudah menjadi hal yang biasa.
Kami berangkat pukul tiga pagi, alasannya sederhana ; agar tidak terlalu siang hingga menjadi panas saat di Puncak gunung batu, syukur-syukur kami dapat view sunrise.
Kami berangkat pukul tiga pagi, alasannya sederhana ; agar tidak terlalu siang hingga menjadi panas saat di Puncak gunung batu, syukur-syukur kami dapat view sunrise.
Ternyata benar ya, dalam sebuah perjalanan, kita jadi bisa mengetahui karakteristik sifat seseorang. Di perjalanan satu hari kemarin, banyak banget hikmah yang bisa dipetik ; yang baik maupun yang kurang baik.
Pantas saja ada yang berkata, untuk bisa menulis yang baik, lakukanlah perjalanan. Karena di perjalanan kau bisa mendapat cerita yang tak terduga. banyak hal yang hanya terjadi pada saat perjalanan, yang bisa dijadikan pelajaran, asal kamu peka mengambil ibrohnya.
Perjalanan kami sebenarnya lancar hingga akhir, hanya saat saat ingin pulang, hujan deras seketika menghampiri dan listrik di Desa Karang Tengah (tempat Leuwi Hejo berada) mati listrik. Lengkap sudah, malam hari, hujan deras, jalanan licin, mati listrik. Kami tak berani pulang.
Hingga akhirnya diadakan rapat kecil sebentar, ada gontok-gontokkan yang terjadi, perbedaan pandangan untuk memutuskan kami tetap pulang atau menginap barang semalam. Hingga akhirnya terjadi mufakat bahwa kami tetap pulang malam itu juga dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Melajukan motor di tengah hujan yang mulai surut, tetapi tetap mati listrik, hati-hati sekali, jalanan nya mengelilingi bukit, mirip-mirip jalan menuju puncak, tanjakan, turunan, dan berkelok tajam. Hingga akhirnya, kami mampir sebentar di rumah salah seorang temannya teman, numpang rebus mie instan, irit pengeluaran. Saat itu sudah pukul 10 malam.
Inti cerita yang saya jadikan judul adalah disini.
Dalam rombongan berdelapan, terdapat tiga orang yang masih usia sekolah ; SMA. Agar orangtua tidak panik, kami menyarankan agar mereka menelepon orangtuanya, mengabari kalau di pukul 10 malam ini mereka masih di jalan, menuju pulang (dengan kondisi yang berangkat pukul tiga pagi). Tapi ada saja masalahnya ; gak ada sinyal, gak diangkat ortunya, mungkin sudah malam.
Ada satu orang yang ayahnya menelepon, menanyakan sedang dimana. Karena nadanya meninggi maka telepon diserahkan ke salah satu rombongan kami yang lebih dewasa, sebagai penanggungjawab.
Ayahnya marah, saya gaktau detailnya gimana, tapi si orang yang berbicara dengan si ayah ini bilang, "inisih alamat gak bisa tidur nanti." maksudnya jadi kepikiran sehabis mendengarkan ayahnya di telepon.
Lantas saya mengingat ibu di rumah, dan cara saya meminta izin saat berangkat ke beliau. Ternyata, beda orangtua beda perlakuan ya, meski mungkin maksudnya sama-sama demi kebaikan anaknya. Terkhusus lagi tentang ayah, entah mungkin, bapak saya akan seperti itu juga pada saya atau mungkin beda, saya tidak tau, belum pernah mengalami (bapak mengomel karena anaknya belum pulang larut malam lalu tidak memberi kabar) dan mungkin juga tidak akan pernah mengalaminya.
Yang saya tau adalah ibu saya.
Sesimpel saya cuma bilang, "Bu, besok Tika mau pergi ke sini dan ke sini. Berangkatnya jam tiga pagi, menghindari macet dan panas. Perginya sama si ini, ini, ini, naik motor."
lalu ibu hanya menjawab, "oke. ada uang ongkos gak?"
Begitu perlakuan Ibu, orangtua saya. Kemanapun saya boleh pergi, asal jelas kemana dan dengan siapanya, kecuali satu hal ; ibu gak mengizinkan saya ikut aksi/demo/apapun itu, meski aksi damai. Takut kepanasan dan desak-desakan katanya, dan saya punya asma. Oke, alasan ibu bisa diterima, haha.
Usut punya usut, ternyata si anak yang ayahnya marah ini hanya izin ke ibunya, dengan asumsi ibunya akan menyampaikan itu ke ayahnya, ternyata tidak ; atau iya tetapi ada misskomunikasi. Entahlah, si Anak ini juga tidak menjelaskan detail, ketika ditanya, ia hanya menjawab : "Udah biasa mama sama bapak begitu. Biarin aja, nanti di rumah juga diomelin, Tapi yaudah, udah biasa."
Banyak kemungkian-kemungkinan yang muncul di otak saya kala itu ;
1. Mengapa si anak tidak izin juga pada ayahnya? Apa karena sudah tau, izin atau tidak, ia akan tetap dimarahi?
2. Mengapa si ibu dan si ayah tidak seiya sekata memberi perlakuan pada anaknya?
3. Mengapa respon si anak seperti itu, seolah "udah biasa kayak gitu"?
Ah, lagi-lagi asumsi, lantas saya merefleksikan pada diri saya, jika nanti saya menjadi orangtua. Akan seperti apa saya memperlakukan anak saya?
sebab katanya ;
"Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah
Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian
Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan
Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan
Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan
Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran
Karena anak belajar dari kehidupannya."
Kembali ke pertanyaan diatas "Akan seperti apa saya memperlakukan anak saya?"
Mungkin jawaban diplomatisnya adalah : "yaa kamu harus menjadi sosok teladan kebaikan hingga bisa diteladani anak-anakmu."
Tapi pertanyaannya terulang kembali, "akan seperti apa perlakuan saya? bagaimana cara mengkonkret-kan jawaban diplomatis-diplomatis tersebut menjadi sebuah aksi nyata?" lagi-lagi saya hanya menemui jawaban diplomatis.
Lalu ada suara dari hati yang membisiki telinga, seperti berkata tapi hanya saya yang mendengar, "Caranya adalah dengan memulai Tik. Belajar mulai dari diri sendiri."
Atika Widiastuti
31 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar