Selasa, 21 Januari 2014

Sepenggal Cerita Hari Ini



Dalam sekali perjalanan ke kampus, banyak cerita hari ini, entahlah seperti berhubungan. Ketika sedang di angkot menuju kampus, pas betul satu angkot dengan beberapa anak SMP 13 Depok yang sengaja dipulangkan lebih awal karena sekolahnya banjir. Maklum, memang sekarang lagi musim hujan. Sebenarnya pun hari ini mager kemana-mana, dikarenakan satu anggota badan cenat-cenut, jadi kebawa cenat-cenut keseluruh badan. Tapi saya tetap berangkat walaupun hujan. Prioritas. :)

Seperti yang sudah diketahui kalau pelajar itu bayar angkotnya lebih “didiskon” daripada penumpang non pelajar. Makanya tadi walaupun udah penuh sama anak sekolah itu, kang angkotnya tetap aja berhenti kalau ada penumpang lain mau naik. Nah, ujung-ujungnya di anak sekolah ini “gelantungan” di pintu. Terjadi percakapan singkat kala itu :

Kang Angkot (KA) : “Eh, cah (bocah –red), bediri sono. Tuh ibu mau masuk (dengan nada menyuruh tapi gak galak), udah biarin keujanan, biar emak lu percaya lu pulang cepet karena kebanjiran.”

Anak Sekolah : “waduh jangan lah bang,ntar sakit saya. Kagak sekolah dah. Kagak jadi pinter ntar”

KA : “Ah yang pinter juga gak bias ngatasin banjir.”

Denger itu langsung jleb. Segitu gampangnya menilai cara mengatasi banjir hanya dari segi dia pintar atau enggak. Paradigma kayak gitu emang udah pasti kebentuk buat orang-orang kayak bapak angkot tadi, tapi yang perlu diketahui adalah banjir itu terjadi bukan karena orang pintar gak bisa ngatasin banjir tapi karena perilaku orang pintar dan orang yang gak pintar yang menyebabkan banjir itu terjadi. Seperti buang sampah sembarangan, kebiasaan kayak gitu bukan cuma kerjaan orang pinter aja, tapi orang gak pinter juga. Tapi yang namanya paradigma, susah buat diubah apalagi cuma dengan omongan, jadi buat orang-orang yang ngerasa pintar (baca : mahasiswa, orang yang berjas rapi dan sejenisnya), coba deh yuk atasi banjir. Karena zaman sekarang, orang dilihat dari apa yang ia lakukan, bukan lagi apa teori yang ia katakan. Lo punya cara ngatasin banjir? Sok atuh wujudin ide itu dan buat paradigma bapak angkot tadi berubah karena langkah konkret kalian itu. Assedap.

Singkat cerita sampailah saya di kampus, di fakultas biru tua kebanggaan #eaa, setelah tujuan ke kampus selesai saya pulang, di halte ketika menunggu bikun, ada seorang kakek penjual lepet (sejenis makanan dari ketan dicocol pake bumbu kelapa.

Spoiler for kue lepet :







Sebelum beli sempat kepikiran, kakek ini jualan makanan kayak gini kok di lingkungan kampus yang seperti kita tau kebanyakan mahasiswa lebih suka makanan jenis modern ketimbang makanan tradisional kayak gitu dan yang lebih hebat lagi, saat itu lagi hujan dan sepi (karena lagi masa libur semester), sementara itu udah sore hari tapi dagangan kakek itu masih banyak banget. Jualannya dipikul. Kenapa gak memilih jualan di kampung-kampung aja, yang notabene pasti lebih mudah menemukan orang yang akan membeli. Tapi tetap kagum, Subhanallah, giat sekali kakek mencari rezeki :’) Berkah ya kek… Saya membeli beberapa dan menghabiskannya di rumah bareng ibu. Pas makan kepikiran, sekarang kakeknya lagi dimana yaaaaa?

Setengah jam menunggu bikun tapi gak datang-datang. Beruntung ada bikun kelas ekstensi ekonomi yang lewat, terus ditawarin naik, mungkin karena nunggu bikunnya di halte ekonomi dikira anak ekonomi, Hehe..
Setelah itu naik angkot pulang menuju ke rumah, di pertigaan Juanda angkotnya berhenti karena lampu merah, lalu seorang laki-laki usia produktif, kayaknya sih baru 20an, dengan pakaian berkabung hehe, maksudnya serba hitam, udah bisa ngebayangin? Oke, saya deskripsiin sedikit, kaos hitam, jeans yang ketat sama betis, jaket tanpa lengan, lengkap dengan aksesoris, gelang, , topi, lubang anting yang kelewat panjang dan lebar serta rambut berwarna. Memanfaatkan moment lampu merah untuk menyumbangkan suaranya (baca : ngamen), dengan iringan tepukan tangan dirinya sendiri, ia menyanyikan sebuah lagu yang berisi umpatan dan cacian pada orang-orang berkemeja rapi. Menyalahkan mereka karena rakus dengan jabatan, dan tidak mengurusi orang-orang bawah. Dengan penekanan pada beberapa lirik, jadilah lagu itu seperti orasi yang dinadakan.

Selagi dia nyanyi saya resapi maknanya, terus jadi kepikiran percakapan singkat anak SMP dan kang angkot tadi serta kakek penjual lepet yang gigih itu.

Mengapa si pemuda ini bisanya cuma mengumpat? Andai saya, ia mau berusaha sedikit untuk belajar, pasti kehidupannya akan lain, mungkin 2045 nanti dialah yang memimpin RI ini, tidak mesti jadi presiden, bisa saja menjadi orang berkemeja rapi seperti orang yang dia umpat di lagunya tadi. Dan dengan kekuasaannya itu, ia bisa mengubah Indonesia jadi lebih baik, tidak berorientasi jabatan, tapi lebih ke menjalankan amanah. 

Mungkin juga dia bisa jadi orang pintar untuk mengatasi banjir seperti harapan kang angkot itu. Atau jika memang ia sudah tidak mau belajar, berwirausahalah, coba berdagang. hasilnya lebih barokah, insyaAllah. Masih muda masa kalah sama kakek penjual lepet tadi. Secara apapun usia 20an pasti lebih unggul dari usia seorang kakek. Perbedaannya cuma satu, dan itu sangat jauh. Hanya “mau” atau “tidak mau”. Karena seperti kata senior waktu ospek, “Jarak bisa dan gak bisa itu cuma sehasta, tapi jarak mau dan tidak mau itu kayak bumi dan langit.” 

Sepenggal cerita yang sebenarnya mau dishare di Facebook, tapi sepertinya terlalu panjang hehe, jadilah ini dibuat di blog saja. Selamat membaca, semoga mendapat sesuatu setelah berkunjung kesini, jangan lupa tinggalkan jejak. Boleh di kolom komentar atau mention ke @atika_widi.
Terimakasih.

Senin, 20 Januari 2014
Atika Widiastuti
Sedang membayangkan masa depan.