Senin, 30 November 2015

Menunggu

sumber : www.digaleri.com

Mengapa masih disitu?
Sebab ia percaya yg ia tunggu pasti akan datang.
Mungkin terlalu cepat atau terlampau lambat.
Tapi pasti datang,
entah kapan.

Menunggu baginya adalah soal kesabaran,
sebab yang ia korbankan adalah waktu.
Menunggu sesuatu yang belum jelas,
sehingga ia selipkan kepercayaan disitu.

Orang-orang di sekitarnya menghiburnya, mencoba membesarkan hatinya.
Katanya, bukan perkara "tepat waktu",
tetapi mereka menyebutnya, di "waktu yg tepat".

Hari ini Aku menunggu.
Menunggu kamu, dan menunggu dia.
Kira-kira, lebih dulu siapa yang datang?
--------
19 Agustus 2015
Atika Widi

Titik Rindu

sumber : harianterbit.com

Titik tertinggi dari rindu bagiku adalah bukan mendo'akan,
karena orang yang rindu,
pastilah selalu menyebut nama orang yang dirindukan,
pun pasti dibawa dalam doanya.

Bagiku, puncak tertinggi rindu adalah saat dimana Aku ingin berjumpa,
tapi terhalang.
Bukan dengan suatu apa yang disebabkan oranglain,
tapi olehku sendiri.

Rindu yang terhalang rasa egois,
untuk mengatakan bahwa Aku rindu dan (harusnya) berusaha untuk menuntaskan rindu itu.

Untuk seseorang,
yang sewaktu kecil menggendongku ketika demam,
yang memidahkanku ke kamar ketika ku terlelap di depan tv,
yang meletakkanku di pundaknya ketika kita di taman bermain.

Untuk seseorang, yang biasa ku panggil Bapak.
----
09 Juli 2015
Atika Widi

Pada Penduduk Langit

sumber : viqriero.devianart.com

Ketika senja datang,
Aku kagum.
Betapa indah bumiku sore ini karena goresan jingganya.

Ketika bulan menampakkan cahaya nya,
Aku kagum.
Betapa terang bumiku malam ini karenanya.

Ketika bintang-bintang bermunculan,
Aku kembali kagum.
Malam sesungguhnya tidak benar-benar gelap karena kehadiran mereka.

Hatiku,
Tertambat pada sesuatu yang sama.
Seseorang yang namanya masih berada di langit.

"Maka sebab ia ada di langit, jangan sebut-sebut namanya pada penduduk bumi. Sebut namanya dalam doa-doa. Karena sungguh hanya doa yang dapat melesat tinggi menembus langit."
-----
Atika Widi
15 Juli 2015

Menghimpun yang Berserak #2

Kepada angin yang menerpa wajahku sore tadi.
padanya kusampaikan suatu kabar
yang nanti jika pagi datang, ia akan menyapamu.
Membisikkan kabar dariku,
tentang sesuatu...
yang tak sempat terkatakan.
-- 18 Oktober 2015

***
Pungtuasi,
aku harap akulah titikmu,
biar kamu berhenti.

Atau setidaknya jadi komamu,
biar kamu beristirahat,
sebelum kalimatmu menemui akhir paragraf.
-- 16 September 2015

***
Kala mendung tak selalu mendatangkan hujan.
Kala terik tak berarti cerah seharian.
Sebab apa yang terlihat, tak sesederhana yang kamu bayangkan.

Maka biarkanlah Aku menjadi keduanya, untukmu.
Menjadi terik yang datang setelah rintik.
-- 08 Agustus 2015
***
Kemarin kamu bilang kalau kamu ingin membebaskan hatimu terbang kemanapun,
Lalu kenapa tiba-tiba sekarang kamu biarkan hinggap di tempat itu?
Bumi masih luas, tiap penjuru langit pun belum semua kamu jelajahi.
Belum waktunya hatimu hinggap, apalagi menetap.
Nanti ya, nanti.
-- 08 Agustus 2015
***
Masing-masing kita tidak sedang menunggu,
tetapi sedang ditunggu.

Ditunggu sesuatu,
yang makin hari kita makin dekat dengannya.
Ditunggu sesuatu,
yang setiap hari kita bergerak menujunya.

Masing-masing kita sedang ditunggu,
oleh kematian.
Tapi....
sudah seberapa besar persiapan?
-- 18 Agustus 2015

"karena yang berserak, perlu dihimpun, perlu dikumpulkan, agar rapi, agar tertata."

check this out :
Menghimpun yang berserak part 1

Harapan.

sumber : ardanradio.com

Adalah keniscayaan jika kita bersedih.
Adalah sebuah kepastian juga jika kita pernah terpuruk.
Tapi adalah kesemestian untuk kita bangkit lagi setelah terjungkal, bahkan tersungkur jatuh.

Karena selepas badai pasti akan ada awan cerah,
karena selepas hujan deras, kita tahu ada pelangi,
karena setelah jalan panjang, kita tahu akan ada tempat peristirahatan,
karena bersama kesusahan, Allah sertakan kemudahan,
ya, Dia sertakan kemudahan.

Ada satu frasa yang juga pasti, bahwa ia akan hadir bersama kesusahan,
yang menjadi lilin terang dalam kegelapan.
yang memberikan kekuatan, pada kita yang tengah berjuang dalam lemah,
yang selalu hidup dan tak pernah mati ; harapan
----
Senin, 30 November 2015
Atika Widi

Minggu, 29 November 2015

Pernahkah?

sumber : pixabay.com

Pernahkah dalam satu waktu, dirimu menjadi sedih tanpa alasan?
Menanyakan pada diri sendiri, "mengapa?" "ada apa?" pada hal-hal yang kamu sendiri tidak tau alasan-nya?
Tapi coba tanyakan sekali lagi pada dirimu, bahwa sebenarnya kamu tahu alasannya.
Hanya saja, kamu enggan menyetujui bahwa memang itu alasannya; karena kamu sendiri mencoba menolak itu sebagai alasan.

Pernahkah dalam satu waktu, dirimu menjadi bahagia tanpa alasan?
Senyum merekah, dan kamu menebarnya pada siapapun yang kamu temui.
Dan kamu, dengan sangat jelas mengetahui alasannya,
mengetahui alasan apa yang membuat kamu bahagia,
Walau jika ditanya, yang kau jawab adalah "tidak tau", padahal dalam hatimu, kamu tahu.
Hanya saja, kamu enggan memberitahu kepada yang lain ; entah takut dianggap berlebihan atau malas mendengar respon mereka

Kita.
Seringkali menaruh perhatian berlebih pada beberapa kejadian-kejadian sederhana dalam hidup,
mengingat "yang paling" dan melewatkan "yang biasa".
Menyeleksi beberapa yang menyakitkan pada satu folder dan beberapa yang membahagiakan di folder yang lain, tetapi masih dalam ruang yang sama; hati.

Mengatur folder dalam hati,
menjadi suatu pekerjaan yang sulit jika dirimu sendiri "tidak tahu" dimana seharusnya berkas kesedihan atau berkas kebahagiaan itu disimpan, membuatnya menjadi campur aduk.

Pernah, kan?
(si)apa yang membuatmu bahagia, di waktu lain ia menjadi alasan terkuat dirimu menjadi sedih berlebihan?

Maka berbahagialah bagi orang-orang yang dapat mengatur folder dalam hatinya dengan rapih, menjadikannya tertata.
dimana kesedihan dan kebahagiakan menjadi sama besar pengaruhnya,
tidak bahagia berlebih, tidak juga sedih berlebih.

--------
Atika Widiastuti,
Minggu pagi yang mendung di Depok.
selesai ditulis pukul 09.41 WIB


Rabu, 18 November 2015

Lingkungan.

sumber : favim.com
Hai. Menulis lagi akhirnya, hehe
Jadi Atika apa kabarnya? Alhamdulillah, lebih baik dari hari-hari sebelumnya :)

Jadi ceritanya, pekan ini lagi suntuk parah. Semua tugas di deadline-kan pekan ini. Kalau bahasanya salah satu anak lingki, "gila yak. semua orang merasa dirinya penting." Huft. Aku hanya bisa ber-wkwk saja.
Buka untuk mengeluh kok. Hanya untuk menertawakan diri sendiri saja.
"Duh kamu Tik, udah semester 5, masih aja gontok-gontokannya sama begituan. Managemen waktu, serba keteter, tugas dan sejenisnya bisa kepegang tapi mepet deadline. Disaat temen-temen yang lain udah bisa masuk koran, jadi project officer seminar nasional, sibuk kampanye di pemira, lomba di universitas lain, keluar negeri sebagai delegasi UI. Lah kamu? ckck. Gausah bangga kalo banyak begadang. Percayalah, Tik. itu bukan tanda kamu pekerja keras, tapi tanda manajemen waktumu buruk."

Bukan mau menyalahkan sistem sih, suatu ketika diberitahu teman yang baru saja bercakap-cakap ringan tapi serius dengan orang di departemen teknik sipil, yang intinya beliau memberitahu bahwa, "lulusan teknik lingkungan itu memang dipersiapkan sebagai lulusan siap latih kok bukan siap kerja."
Bug! duh rasanya ada yang menghujam jantung gitu.
Suatu ketika seorang teman yang jurusan teknik mesin bertanya, "Pernah denger gak ada D3 teknik lingkungan?"
untuk menjawab pertanyaannya aku hampir menghabiskan beberapa waktu untuk searching, dan tidak menemukan jawaban "iya". akhirnya aku menjawab, "Gak ada kayaknya."
"Ya pantes aja banyak praktikum juga, teori juga. Kalian mempelajari semua. Kalo di mesin, kita sedikit praktikumnya. D3 mesin yang nantinya bakal jadi tenaga ahli, udah banyak."
So....deep. Jleb. Aku merasa "hebat" :")

Sering suntuk, sering kesal sendiri dan ujung-ujungnya ngeluh. Yaaa padahal mah..kalo lagi ada waktu luang bukan dimanfaatin buat produktif tapi malah memberikan toleransi , "tidur dulu lah. waktu masih banyak." atau "istirahat dulu lah.. tadikan udah gini gini gini gini...." ke diri sendiri.
24 jam yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Padahal tiap hari punya to-do-list di buku saku. Sebagian tercoret sebagian terabaikan seperti tidak pernah dituliskan.

Tapi Aku coba pahami satu sih. Aku di jurusan ini. Aku kuliah disini. Adalah hal yang sangat amat pantas aku syukuri. Maka ketika rasa kesal menghampiri. Aku melihat lagi pada sekitar. Pada kawanku di jurusan lain, pada teman-temanku yang belum berhasil masuk PTN, pada kedua orangtuaku, (cerita sedikit bahwa kemarin baru bertemu dengan bapak loh, yeay! :))
Melihat anak-anak jurusan Arsitektur yang harus berpikir sendiri lalu mewujudkan ide dari fikirannya sendiri, dengan cara seoptimal mungkin diantara waktu pengerjaan yang mepet. Pernah Aku menyaksikan seorang teman jurusan Arsitektur Interior, sedang menggergaji papan tripleks untuk tugas 1:1 nya. Ya, dia perempuan. Gausah kaget, di Arsitektur banyak yang kayak gitu.
Maka bersyukurlah Aku yang (hanya dituntut) untuk memahami ilmu eksas, menggunakan rumus-rumus serta mencari literatur saja. Apa jadinya Aku jika harus menjadi seperti mereka?

Dan Aku menyadari bahwa ternyata, Aku menyukai jurusanku, Aku menyukai ketika bertambah ilmuku tentang lingkungan, hal yang dekat bahkan sangat dengan kehidupan kita. Sesuatu yang pernah temanku berkata, "aku jadi pengen masuk teknik lingkungan deh tik." setelah menceritakan pengalaman "susah mendapatkan air" selama beberapa waktu di Korea -untuk mempresentasikan abstrak buatannya-, membuatku berkata padanya, "kadang Aku malu loh jadi anak teknik lingkungan. Aku, yang harusnya ilmuku lebih banyak dibanding yang lain, tapi malah enggak tahu apa-apa, se-update ituloh keadaan lingkungan kita tiap saat. Bahkan mungkin lebih banyak pengetahuan lingkungan kamu. Sering banget kan ada lomba-lomba yang bertema environment, atau tentang sampah, pilah sampah, recycle sampah, dll. Terus Aku ngapain? gak ngapa-ngapain. Di saat orang-orang mungkin dari disiplin ilmu lain bisa berkontribusi. Aku malu."

Sisa 3 semester disini.
Happy ending(?) maybe,
but I prefer the happy process, actually.
Ehehe

Selamat belajar!

Kamis, 05 November 2015