Rabu, 27 April 2016

Singkat


Kemarin, bulannya bulat,
'a pale moonlight',
terang tapi pucat,
dilatari langit yang hitam pekat.


Terkirim sebuat surat,
tersirat,
berupa lantunan ayat,
terlantun khidmat,
di tengah rindu yang teramat.

Rindu yang menyayat,
makin dilawan makin mengikat,
terasa sekarat,
tak bermanfaat.

Untukmu yang hadir sesaat,
selintas lewat,
namun tetap teringat.

Singkat.

Untukmu yang kupanggil Sahabat,
yang kutenggok di kursi barisan ke-empat,
ya, setidaknya kamu sehat.

sumber gambar : klik

Kamis, 21 April 2016

Kak...

"Kak, lagi patah hati ya?"
      "Loh kok nanya gitu, dek?"
"Itu tulisannya galau-galau terus."
      "Ah, kamu yang patah hati kali."
"Kok Aku?"
      "Iya kamu. Buktinya kamu menginterpretasikan tulisanku sebagai tulisan patah hati."
"Eh?! iya juga, ya."

"Jadi kakak gak lagi patah hati?"
      "Enggak, tuh."

"Terus tulisannya kok gitu?"
      "Apa?"
"Hem...tentang patah hati-patah hati gitu."
      "Itu namanya terapi hati, dek."

"Kok diterapi hatinya?"
      "Iya, buat pelajaran. Kalo-kalo Aku beneran patah hati. Aku bisa baca ulang, terus sadar, ternyata patah hati itu gak enak. Bikin apa tadi kamu bilang? bikin galau, ya? nah itu."

"Terus kak?"
      "Ya jangan dipatahin."
"Kalau orang lain yang patahin gimana kak? Tanpa kita tahu."
      "Ya makanya dijaga, dek. Jangan sembarangan kasih hati ke orang lain. Lha wong cuma punya satu."

Dosen Tamu

Dosen tamu,
selalu ditunggu di tiap minggu,
berharap mendapat pemahaman baru,
yang menarik dan tak selalu terpaku buku.

Dosen tamu,
membuat seratus lima puluh menit berlalu,
terasa seperti sekejap waktu.

tak bosan, tak suntuk,
apalagi mengantuk.

Mencatat, tak ada yang terlewat,
pemaparannya singkat,
padat,
dan tepat.

Dosen tamu bertanya,
Ada yang ingin ditanyakan?
Semua berebut mengacungkan jari,
ingin pemahaman yang lebih

Dosen sendiri bertanya,
Ada yang ingin ditanyakan?
Sepi senyap seperti kuburan

Entah sudah sangat paham,
atau sama sekali tidak paham.

Sehingga ingin bertanya saja bingung
"Apa yang ingin saya tanyakan?"

Salah siapa? Dosen tamu? atau Aku?
Ah, pantas tetap segitu-segitu saja ilmuku,
pada guru saja memilih-milih begitu.





Rabu, 20 April 2016

Perempuan

Perempuan itu harus hebat.
Bukan hebat karena menjadi pasangan orang yang hebat,
tetapi kehadirannya bisa menghebatkan sekitarnya.
Menjadi hebat secara individu, yang independen, yang merdeka, yang bermanfaat.

Perempuan itu harus cerdas.
Karena ia adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak.
Tumbuh kembang anaknya bergantung pada pola pengasuhannya.

Perempuan itu...Kamu.
Dan belajar dengan giat adalah salah satu kunci
untuk menjadi cerdas, menjadi hebat, menjadi pribadi yang merdeka.

Belajar yang giat ya, Perempuan. :)

Perempuan, kidal.

Selasa, 19 April 2016

Sapa

Sore-sore seperti biasa datang lagi menghampiri hariku. Menuju gelap saat Aku bersiap pulang, saat dimana Aku bersiap menutup kisah hari ini. Lantas tanpa sengaja, mataku terpaut pada sosokmu, aku menangkap siluet wajah yang memenuhi langit senja kala itu, di kejauhan, sedang menunggu.

Mataku, dan matamu, bertemu. Tak bisa menghindar, batinku.
Seketika Aku melambaikan tangan, seraya tersenyum, memanggil namamu. Kikuk. Kamu membalas lambaianku; sesederhana itu soreku yang biasa berubah menjadi luar biasa. Sesingkat itu.

Kita tak pernah lebih dari sekedar sapa sebenarnya.

Aku kembali melanjutnya perjalanan pulang, menumpang pada sebuah motor, milik teman baikku. Seperti sore-sore sebelumnya, mataku mencari-cari hadirmu, disana. Pada sebuah halte bus di pinggir jalan yang selalu ramai, tempat kamu selalu menunggu, tempat Aku diam-diam biasa melihatmu, juga dari kejauhan. Nihil. Tak ada kamu di sana.

Lantas Aku teringat sesuatu ; Aku mencari siapa? kamu? Bukankah Aku baru saja melambaikan tangan padamu di ujung jalan tadi?

Ah. Hilang fokus.
Sepertinya mataku sudah terbiasa mencari-cari kamu di sana,
di halte bus itu.
tanpa sadar.

Jumat, 15 April 2016

Kucing dan Kania

Siang itu matahari bersinar dengan terangnya, di pekan kedua ujian di kampusku. Ujian kali ini take home, dimulai pukul 8 pagi tadi, lalu dikumpulkan keesokan harinya di jam yang sama. Aku bersamanya berada diantara kumpulan orang-orang yang sedang menunggu cheatsheet untuk difotokopi. Perempuan berkulit putih, dengan rambut lurus sebahu, bermata sipit meski bukan keturunan chinnese. melainkan betawi aseli. Kania Puteri namanya, Aku memanggilnya Kania.

Sudah menjadi kebiasaan di angkatan kami memang, pada setiap mata kuliah, kami membagi materi bahasan sebanyak personil di angkatan, untuk dipelajari masing-masing bagiannya, lalu diringkas pada selembar HVS, setelah itu dikumpulkan ke satu orang, lalu difotokopi sebanyak anak di angkatan. Kadang kami membahasnya bersama di suatu foodcourt yang lumayan luas di daerah kost-kost-an sebrang kampus kami. Semata-mata agar semuanya paham akan materi kuliah yang telah diajarkan.

Bicara tentang Kania, maka tak bisa jika kami tidak mengingat kucing. Ya, Kania adalah penyayang kucing nomer satu. Lihat saja pergelangan tangannya, penuh dengan bekas cakaran kucing yang pada tiap goretannya, punya cerita masing-masing. Ia ceritakan semuanya sembari tertawa, seolah tidak ada sakit-sakitnya itu bekas cakaran. Kami mendengarnya sambil bergidik ngeri, seolah tangan kami yang tercakar kucing.

Bosan Aku menunggu cheatsheet yang tak kunjung datang, aku masuk ke dalam kelas. Tak berapa lama ada yang menarik perhatian Kania. Pada tempat sampah yang tak jauh dari tempat kami berkumpul, seekor kucing kampung berwarna putih kombinasi hitam sedang mengais-ngais sisa makanan di sana. Kania melihatnya saja, lucu katanya. Tak ia ganggu, pun sekedar dihampiri. Di saat itu, seorang laki-laki sepantarannya tiba-tiba saja melemparkan batu ke arah sang kucing, melihat si kucing tak bergeming, lalu ia menendangnya. Seolah kucing itu mengganggu jalannya, padahal tempat sampah tempat si kucing mengais makanan ada di pinggir jalan, sama sekali tidak menganggu jalan si laki-laki sepantaran Kania itu.

Seketika Kania menghampiri si kucing, di bawanya ke dalam kelas, dibelai-belai lembut bulu-bulunya, sambil sesegukan menahan tangis. Aku memandang matanya tanpa berkata apapun, kontak mata ku dengannya seolah menyiratkan sesuatu, seolah tau ia menangis karena melihat si kucing diperlakukan demikian. Ia bercerita padaku tentang kejadian yang ia lihat tadi, bagaimana si kucing di lempar batu, bagaimana si kucing di tending, dan bagaimana-bagaimana lainnya. Tangisnya tumpah tak bisa ditahan lagi, padahal si kucing dalam keadaan baik-baik saja, masih asik menikmati belaian Kania pada bulu-bulunya. Aku jadi teringat pada kisah Rasulullah, dan kucing kesayangannya, yang membuat Rasulullah lebih memilih melubangi jubah tempat kucingnya tidur ketimbang membangunkan si kucing demi mengambil jubahnya.

Setelah reda tangisnya, ia segera pergi ke kantin, memesan nasi putih dan ikan goreng. Ia kembali ke kelas, mengaduk-ngaduk nasi dan ikan pesanannya, mencampurnya menjadi satu. Teman-teman lain yang menyaksikan bertanya-tanya apa yang sedang ia lakukan, ia tak bercerita, takut tangisnya tumpah lagi. Setelah dirasa campurannya sudah merata, ia memberikan makanan pesanannya itu pada si kucing, menjauh dan membiarkan si kucing makan, meski tetap ia awasi dari kejauhan. Teman-teman yang bertanya-tanya tadi seolah langsung mengerti dan ber-oh panjang bersama.

Hati Kania lembut sekali. Aku merasakan sayangnya tulus pada kucing itu. Entah hanya Kania, atau memang semua para penyayang akan berlaku seperti itu. Tapi hari ini Aku dapat pelajaran lagi.. Allah memberikan kita perasaan sayang, dan rasa untuk saling menyayangi, tapi ternyata sayang itu tak terbatas pada manusia saja. Juga pada hewan dengan tidak berlaku jahat padanya, bahkan membunuh hewan-hewan pun harus ada adab dan sebab-sebabnya, meski itu seekor kecoa. Juga pada tumbuhan, dengan tidak menginjak rumput atau memetik bunga sembarang sesuka hati. Kau pernah mendengar cerita tentang pohon tua di Pulau Solomon? untuk menebangnya, tak perlu gergaji, parang, atau perkakas lainnya, cukup kau caci maki dan sumpah serapahi saja ia setiap hari, ia akan mati dengan sendirinya. Ternyata mereka pun punya perasaan.

sumber : klik

Selasa, 12 April 2016

Pisang dan Ulangtahun

Ada seorang anak perempuan, meski sudah bukan anak-anak lagi, tapi ia tetap menyebut dirinya 'anak' perempuan. Kemarin, ia berulang tahun. Ada suatu kejadian yang memberikan saya pelajaran.

Ketika ditanya, "Lagi ulangtahun nih, malam ini mau kemana?"

"Gak kemana-mana. Mau nugas aja."

"Makan yuk!"

"Ayo. Tapi kamu juga makan ya, jangan ngeliatin Aku doang. Es krim yuk!"

Si 'anak' perempuan ini memang senang sekali makan es krim. Karena menurutnya, es krim membawa kebahagiaan, karena senyumnya memang tak pernah berhenti berkembang ketika ia sedang makan es krim, saya menyaksikan itu.
Anak kecil yang beranjak tumbuh dewasa, sudah 21 tahun. Tapi tetap saja saya senang memanggilnya 'anak kecil'. Lucu.

Kami pergi ke tempat biasa saya bisa menyaksikan senyumnya itu, memesan satu porsi besar es krim untuknya. Saya memesan yang lain, tidak terlalu senang pada es krim sebenarnya, entahlah, terlalu manis.

"Lihat kakek tua di pinggir jalan tadi gak? Yang jualan pisang.", tanyanya

"Enggak. Kenapa? Kasian ya?"

"Gapapa."
, jawabnya singkat

Ia memakan es krim pesanannya, saya melahap makanan pesanan saya. Sesekali membahas ulangtahunnya, "sudah dapet kado dari siapa aja, nih?" tanya saya.
"Kado apaan? Enggak ada. Kan udah gede. Masa masih ngarepin kado? Ada yang inget Aku ulangtahun aja udah senang. Kado dari kamu, mana?"

"Loh, ini ngajak Kamu makan, anggap aja kado. Aku gak mau kayak gitu, masa kamu cuma spesial di satu hari doang? Kita kayak gini aja, lakuin hal-hal sederhana, cuma kebetulan aja hari ini ada yang lagi ultah, haha."

"Haha, bisa aja pembelaan. Oke deh. Nanti pulang dari sini ke tempat kakek yang tadi itu dulu ya. Aku mau beli pisang", katanya kemudian.

Selesai itu, kami bergegas pulang, Si anak perempuan ini sudah kadung tak enak hati pada teman-temannya, karena mereka seharusnya mengerjakan tugas bersama malam itu. Saya datang lantas mengajaknya pergi meninggalkan teman-temannya.

"Stop! Beli pisang dulu~ beli pisang~" , katanya.

"Oh iya. Aku aja yang beliin."

"Ah gausah, orang mau beli pake uang sendiri."

"Sok banyak duit, deh."

"Yeu. Emang banyak duit."

"Udah Aku aja yang beliin, buat kado. Tadi minta kado? Kadonya pisang aja ya.", kataku memenangkan perdebatan.

Si kakek tertidur pulas sekali. Saya harus menepuk-nepuk pelan kakinya untuk membangunkan beliau. Saya membeli pisang dari si kakek. Si kakek memasukkannya ke dalam kresek hitam bekas pakai. Saya berikan satu kantong kresek berisi pisang kecil itu kepada si 'anak' perempuan ini. Senyumnya mengembang lagi.

"Senang?"

"Banget! Makasih banyak! Ini kado paling remember-able."

"Kenapasih? Kasian yah?"

"Sebenarnya, iya. Gak tega aja.. Udah tua.. Tapi, hebat ya, udah malam masih semangat cari nafkah."

Setelahnya, ia bercerita tentang mimpinya, berkata bahwa ia ingin lebih sering membeli barang/makanan/apapun yang seperti itu. Meski tak butuh atau sedang tak terlalu ingin punya atau memakan sesuatu itu, ia senang saja membelinya. Karena menurutnya, orang-orang seperti si kakek ini hebat. Meski memungkinkan, beliau tidak meminta-minta dan menjadikan dirinya pengemis, tetapi masih giat bekerja. Si 'anak' perempuan ini mudah tersentuh memang orangnya.

Ternyata, berbuat baik, meski hanya niat, itu menular. Saya tidak ada niatan sebenarnya membelikannya pisang. Tapi melihat niat baiknya itu, saya ingin saja rasanya melakukan hal tersebut.
Malam itu saya dapat pelajaran lagi.

***
Depok, 12 April 2016
Kukusan Teknik

Minggu, 10 April 2016

Mempertahankan

Saya selalu kagum pada orang-orang yang bisa membuat sebuah cerita. Apalagi jika itu dijadikan novel, beratus-ratus halaman, terlebih jika itu diterbitkan menjadi novel berseri, beribu-ribu halaman. Wah!

Bagaimana caranya menghadirkan semangat untuk terus melanjutkan tulisannya, menjadikannya bersambung, dan berikatan antar subbabnya, merangkai kata-kata menjadi kalimat, lalu kalimat-kalimatnya menjadi satu paragraf utuh.

Saya selalu kagum, pada kehebatannya mempertahankan.
Bagaimana ia menghadirkan emosi yang sama, pada satu cerita yang ia sajikan.
Membuat yang membaca ikut merasakan.

Pantas saja saya lebih suka menulis puisi, atau cerita keseharian lepas yang sekali tulis selesai. Susah sekali rasanya membuat cerita bersambung, meski hanya cerita pendek ; ternyata saya tak bakat mempertahankan.

Hehe.

Kamis, 07 April 2016

Semut dan Paldom

Sebulan terakhir entah mengapa di kosan saya jadi banyak semutnya. Apa karena faktor penghuninya? Bukan, maksudnya bukan penghuninya yang manis, tapi penghuninya sering bawa makanan/minuman yang berbau-bau manis lalu berceceran. Sepertinya memang begitu, deh.

Tadi pagi, selagi gambar jaringan Paldom di kertas kalkir (keseruan paldom ini nanti saya ceritakan di postingan lain, ya) mereka jalan-jalan berbaris di depan pintu kamar saya, padahal jelas saya gak lagi minum minuman berasa, apalagi makan. Terus saya baru makan malam ini, masa iya mereka nungguin saya sampai makan malam? ah, ini sih fix saya kepedean. Tuh kan, sama semut aja baper.

Nah, saking banyaknya mereka, ya. Bosan saya dengan kalkir, saya ajak main aja mereka. Saya kasih angin tornado di barisan mereka, iya, saya tengkurap terus tiup-tiupin mereka.

Reaksinya lucu, deh. Meski jalan di lantai yang koefisien geseknya kecil (dibanding jalanan kutek), mereka gak 'terbang' gitu aja ketika ditiup, seakan tangan dan kakinya(?) mencengkeram erat ubin lantai, mereka diam dan tetap pada kondisi itu. Sampai saya biarkan mereka berjalan-jalan lagi, ketika agak rapi barisannya, saya tiup-tiup lagi, kali ini agak keras, beberapa terpental juga. Ya Allah maaf, ini rasanya jahat banget kalau dibayangin sekarang, ya :(

Selesai (atau lebih tepatnya selesai seadanya) gambar di kalkir, saya berangkat ke kampus. Dengan hati riang dan senang karena pikir saya, 'beban' sudah hilang karena kalkir-kalkir ini akan segera dikumpul. 30 menit terlewat dari jadwal aselinya, karena takut diusir sebelum ikut belajar, maka tas saya titip di kelas sebelah, kelasnya anak sipil. Saya masuk bener-bener bawa badan (dan HP) aja. Kertas minta, pun pulpen minjam.

Ah iya. Sebelum berangkat kampus, saya bawa 5 kalkir A0 dalam tabung, juga CD hasil burning tugas besar kelompok. Saya berangkat duluan dari kosan, dengan maksud setidaknya tugas sudah aman sampai di kampus, meski orang dalam kelompok yang hadir baru saya, tiga teman saya yang lain menyusul ; ada yang mandi terlebih dahulu, ada yang bersiap-siap dulu.
Oh iya, ceritanya semalam kami ngumpul di kosan sampai pagi, sampai 15 menit sebelum kelas dimulai. Bukan kok, bukan nugas, yaaa kepingin kumpul ajaa (bohong deng).

Pikir saya lagi, oh yasudah gapapa, toh nanti mereka datang juga. Lagian hari ini di kelas, dosennya menyampaikan materi kok, bukan presentasi atau apapun yang melibatkan kelompok. Materinya paling teori, kan. Disuruh baca buku referensi, khas dosen perancangan gituh. Ah, tenyata pikir-pikir saya diawal itu salah.

Di 30 menit kedatangan saya yang terlambat, materi sudah separuh jalan, karena teman-teman saya tidak kunjung datang juga, saya mau tidak mau memperhatikan penjelasan dengan serius. Siapa yang akan ditanya kalau nanti dipengerjaan tugas kami ada yang kami gak paham? Padahal biasanya saya tidur di kelas, jelek banget ini jangan dicontoh :(
Satu jam kelas berjalan, ternyata memang cuma saya yang datang kelas, tiga lainnya berguguran hahaha :(

Ternyata bukan sekedar teori, kali ini hitung-hitung langsung. Beberapa kelompok maju menuliskan data perhitungan masing-masing, diajarin perhitungannya, per-step-step secara umum tapi mendetail. Yaa pokoknya gitudeh, si Bapak yang satu ini, sebut saja Pak Setyo, memang jadi idola dalam urusan menjelaskan materi. Kami jadi se-ngerti-itu. 

Saya kalap. Takut-takut disuruh maju juga. Sendirian. Mau nulis apa? Lah pulpen aja minjam, kertas boleh minta. Debit kelompok kita berapa? berapaaaa? tidaak~ HP mati pula. Alih-alih duduk di paling belakang, padahal ngumpet gitu, sok-sok-an sibuk mencatat kalau ada yang lagi disuruh maju. Orang 'kejepit' emang jadi banyak akalnya, ya. Sa ae.

Hingga akhir jam kuliah, setidaknya ada tiga tugas yang diberi deadline hari Senin besok untuk diasistensikan kepada si Bapak.
Terus si Paldom merasa menang, ia berteriak seketika setelah di Bapak menutup pintu keluar "Lo kira dengan lo ngumpulin kalkir, kita bakalan udahan? Hahahahahaha belom lah yaw."

Selesai kelas, saatnya mengumpulkan 5 lembar kalkir beserta CD ini. Tak semulus itu ternyata. Hingga karena saking gak kuatnya lagi, saya titip aja kalkir dan CD kelompok saya ke kelompok lain ; saya lapar, mau makan. Setelah diingat, loh iya belum makan dari kemarin siang, lah kuat.

Beli siomay abang-abang lalu pulang ke kosan. Muka udah kucel banget, hati udah gak karuan aja. Yang ada di pikiran saat itu cuma es krim.

Sampai di kosan, engga ada komunikasi yang terjadi di antara saya dan teman-teman saya itu. Tapi saya tau, sikap saya itu salah. Tapi di satu sisi, gak baik juga kalau saya langsung mulai obrolan. Janji saya, nanti saya bakal minta maaf. Saya takut 'meledak' kalau ngobrol saat itu juga. Biasa, orang melankolis O, kalau udah begini, suka ngerasa jadi makhluk paling merana, yang ditinggal sendiri setelah dibersamai sepanjang waktu. Jadi biarinlah, saya 'ademin' diri saya dulu. Ademin secara harfiah ; mandi. Haha. Tugas tetap saya share di grup kelompok. Cuman katanya gak ada senyum-senyumnya saya di grup. Bahasa chat hebat ya. Padahal tulisan doang, tapi orang bisa 'ngebaca rasa' gitu.
Duh ngebaca rasa. hahaha

Udah ngerasa adem, saya cari es krim, beli deng. Deket sih, di Cijantung, hehehehehe
Lalu saya kembali lagi ke kosan. Jam lima sore. Langsung masuk kamar, masih belum ada obrolan juga. Padahal saya janji, malam ini bakal jelasin tugasnya ke tiga orang teman saya itu.

Sampai akhirnya,
beberapa menit lepas Isya, mereka masuk ke kamar saya. Bertiga. Bawa ketan duren. Duh, sa ae emang dah ah.
Karena dikiranya saya ngambek, karena sejak pulang kampus engga ngobrol, pun di grup nongol seadanya.

Padahal bukan ngambek, cuma memang sayanya aja yang sifatnya seperti ini. Tapi saya ingat janji saya tadi siang. Saat itu juga, selesai jelasin tugas yang diberikan si Bapak, sambil saya ceritain di kelas tadi gimana. Saya minta maaf ke mereka. Minta maaf atas sikap saya yang nyebelin dan ngebetein dan menjadikan mereka membelikan ketan duren buat saya, hahaha.

Mereka bertiga, hampir berbarengan jawab, "Aaaaaa~ harusnya kita yang minta maaf~ " Dasar. Cewek. Lucu bin awkward banget kita jadinya.

Terus duren ketannya kita makan bareng-bareng. Aseli, enak. Gratis soalnya. Duren pula. Siapa yang nolak? hehe

Lalu kita makan malam bareng di kosan, pesen lele kremes Cak Mul. Pesen, delivery ke kosan. Males banget emang padahal tinggal keluar, ckck Si ketan duren ini saya tinggal di meja belajar. Tempatnya kan tinggi, diplastikin juga, amanlah yaa~ Kami makan bareng dulu di ruang TV. Setengah jam kemudian, balik ke kamar. Duh.

Ketan durennya dikerubuti semut.
Mana item-item lagi, gede-gede.
Ini saya mikir, jangan-jangan saya kualat.
Tadi pagi saya tiup-tiup mereka.
Sekarang lagi balas dendam ceritanya.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tapi, kenapa harus di ketan duren? :"
no pict = hoax ,gitu katanya

--------------------------------------
tulisan malam gak jelas, didedikasikan untuk tiga orang teman hidup di semester enam.
Terimakasih yaa :*


Rabu, 06 April 2016

Judulnya dibawah

Jadi, sebenarnya sudah lama sekali rasanya laman ini tidak saya kunjungi. Bukan, bukan karena tidak ada bahan untuk menulis. Karena sebenarnya banyak, tetapi karena satu dan lain hal, aku jadi malas mempostingnya. Biasa. Orang tipe melankolis, sekali diberitahu yang tidak terlalu baik tentang apapun yang menyangkut dirinya, ia akan menjadi malas melakukan itu lagi. Terlalu mendengarkan kata orang.

Tapi ya, sebenarnya. Saya tidak meminta siapapun berkunjung kemari, jadi jika kamu tertarik, mari silakan lanjutkan membaca. Aku tak untung, pun kamu tak rugi. Kita tak menerima imbas apa-apa sebenarnya. Aku hanya senang saja menuliskan apa-apa di sini.
-------------------------------------------------------------
Jadi, tentang puisi. Saya ingin menuliskannya lagi. Di sini. Tapi entah puisi ataukah tulisan jenis apa, karena tak berima, pun tak bernada pada setiap suku kata di dalamnya. Sebab temanku yang di Sastra Indonesia pernah berkata, "Karya sastra itu mengikuti jaman, tidak stagnan. Jika muncul jenis tulisan baru, bisa saja muncul penyebutan baru untuk jenis tulisan itu."

Jadi, tentang kamu. Sudah berapa lama kita tak berjumpa, ya? -Jika masih boleh Aku menyebut 'Aku dan Kamu' sebagai Kita-
Terakhir kali, Aku melihatmu, pada...ah ternyata Aku juga tak ingat. Desember, ya? atau November? Bahkan sekarang sudah bulan April.

Jadi, tentang aku. Ternyata Aku masih yang dulu. Penyuka senyummu, dan selalu begitu.

Dok. Pribadi , DeRanch Lembang, 30 Januari 2016