Jumat, 12 Januari 2018

Rumah Kedua




"Tika, kok rame sendiri si?", sebuah kalimat terlontar tadi sore dari seorang kakak karena melihat diriku yang... entah, menurutnya terlalu 'rame', dalam artian heboh sendiri.

Aku diam sejenak, berpikir, "iya, kenapa ya?" lanas terontar jawaban, "Aku seneng banget kaaaaak. Biasanya sendirian bolak-balik ke sini. Sekarang rame. Pake banget!"

Definisi bahagia menurut Atika, sesederhana itu.

Rumah Iqro,
menjadi rumah kedua sejak Aku kelas 6 SD, Dimulai dari jadi santri TPA waktu itu, karena mungkin dirasa sudah cukup pantas, ketika SMP, seorang Aku ini 'naik tingkat' jadi pengajar TPA-nya. Saat SMA, Aku jadi bagian dari pengurus TPA-nya. TPA yang meski tiap santrinya diberi kartu bayaran bulanan, tapi jaraaaang sekali ada yang membayar. Membuat kami yang saat itu menjadi pengurusnya serting banget ngelus dada, "ini uang listrik dari mana? uang kebersihan? alat tulis KBM? uang lelah pengajar?" Hingga akhirnya terlontar kalimat, "jadikan ini sebagai ladang amal kita ya, insyaAllah berkah."

Lalu kuliah, tiba-tiba Aku ini masuk 'ring utama' pengurus. Dari TPA yang adalah unit kegiatan yayasan, aku diamanahkan menjadi bendahara yayasan, yang isinya semua pendiri yayasan. Jiper. Berasa anak bawang.

Di dua tahun waktu kuliah, aku dipindahtugaskan lagi ke bagian ain. Marketing and Communication. Apa itu? Ya gitu. Singkatnya jadi Mimin. Karena katanya, Atika is always with her handphone, jadi cocok. Haha. Jarkoman. Bikin poster. Bikin segala macam tentang branding dan penginfoan gitu.

Hingga saat ini, ditambah beberapa tugas sampingan, side project dari sesepuh Ri, satu dari tiga kakak terbaik saya, kak Jayadin, yang selalu bilang, "saya mau yang ini diurus adek-adek kamu. Nah kita bikin kegiatan lain yang lebih hebat lagi dek. Nanti kalau itu udah settle, regenerasi-in ke adek-adek kamu yang lain lagi. Kita handle project yang lebih besar lagi. Biar jadi pembelajaran bersama.

yang selalu, "Tika bisa handle ini?" "Kamu kerjain itu, saya ini ya." "Nah. Ayo dong idenya!" Kalau ada yang gak sesuai ekspektasinya, beliau berkata "Gapapa. Biar saya ada bahan buat ngomelin."

Demi itu semua. Kurang lebih 10 tahun saya tumbuh bersama Rumah Iqro. Selama itu pula, banyak yang datang, tapi lebih banyak yang pergi.

Saya selalu senang setiap dapat kabar bahwa kakak-kakak saya akan segera menikah, karena artinya, saya bakal punya satu kakak baru. Tapi lain harapan, lain kenyataan. Justru setelah menikah, para kakak saya ini banyak amanah baru tambahan, membuat yang hampir tiap hari batang hidungnya saya lihat, berkurang jadi seminggu sekali, sebulan sekali, hingga akhirnya benar-benar kita hanya bersapa lewat media.
Meski tidak semua, tapi ya... anggaplah ini curhatan seorang Adik, ya kak. ^^

Makanya saya termasuk yang getol banget untuk memprovokasi seorang kakak, "kapan nikah, kak? "kapan kenalin calonnya?" Tapi giliran beneran dapat undangan nikah, jadi galau sendiri. Bukan iri. Ya you know, berarti kemungkinan terburuknya, saya harus rela tambah jarang bertemu dengan kakak itu.

Beigtu juga teman-teman sebaya. Kami angkatan ketiga, dulu kami ramai, mendominasi pada masanya. Satu persatu pergi, ada kesibukan di tempat lain. Hingga tingga aku, seorang perempuan sendiri di angkatan ini. Berdua sama Irul, yang masih setia mendengarkan kak Jayadin curhat.

Maka ketika hari ini, suasana Rumah Iqro menjadi sebegitu ramainnya. Saya merasa haru sendiri. Ini nyata, kan?

Bukan. Bukan menyalahkan teman-teman. Karena pertemuan dan perpisahan adalah keniscayaan. Apapun kegiatan dan dimanapun kita berada sekarang, itu mutlak keputusan masing-masing. Pun saya yang berkeputusan untuk tetap disini.

Tapi, boleh kan Aku sejenak rindu suasana dulu?

***