Jumat, 15 April 2016

Kucing dan Kania

Siang itu matahari bersinar dengan terangnya, di pekan kedua ujian di kampusku. Ujian kali ini take home, dimulai pukul 8 pagi tadi, lalu dikumpulkan keesokan harinya di jam yang sama. Aku bersamanya berada diantara kumpulan orang-orang yang sedang menunggu cheatsheet untuk difotokopi. Perempuan berkulit putih, dengan rambut lurus sebahu, bermata sipit meski bukan keturunan chinnese. melainkan betawi aseli. Kania Puteri namanya, Aku memanggilnya Kania.

Sudah menjadi kebiasaan di angkatan kami memang, pada setiap mata kuliah, kami membagi materi bahasan sebanyak personil di angkatan, untuk dipelajari masing-masing bagiannya, lalu diringkas pada selembar HVS, setelah itu dikumpulkan ke satu orang, lalu difotokopi sebanyak anak di angkatan. Kadang kami membahasnya bersama di suatu foodcourt yang lumayan luas di daerah kost-kost-an sebrang kampus kami. Semata-mata agar semuanya paham akan materi kuliah yang telah diajarkan.

Bicara tentang Kania, maka tak bisa jika kami tidak mengingat kucing. Ya, Kania adalah penyayang kucing nomer satu. Lihat saja pergelangan tangannya, penuh dengan bekas cakaran kucing yang pada tiap goretannya, punya cerita masing-masing. Ia ceritakan semuanya sembari tertawa, seolah tidak ada sakit-sakitnya itu bekas cakaran. Kami mendengarnya sambil bergidik ngeri, seolah tangan kami yang tercakar kucing.

Bosan Aku menunggu cheatsheet yang tak kunjung datang, aku masuk ke dalam kelas. Tak berapa lama ada yang menarik perhatian Kania. Pada tempat sampah yang tak jauh dari tempat kami berkumpul, seekor kucing kampung berwarna putih kombinasi hitam sedang mengais-ngais sisa makanan di sana. Kania melihatnya saja, lucu katanya. Tak ia ganggu, pun sekedar dihampiri. Di saat itu, seorang laki-laki sepantarannya tiba-tiba saja melemparkan batu ke arah sang kucing, melihat si kucing tak bergeming, lalu ia menendangnya. Seolah kucing itu mengganggu jalannya, padahal tempat sampah tempat si kucing mengais makanan ada di pinggir jalan, sama sekali tidak menganggu jalan si laki-laki sepantaran Kania itu.

Seketika Kania menghampiri si kucing, di bawanya ke dalam kelas, dibelai-belai lembut bulu-bulunya, sambil sesegukan menahan tangis. Aku memandang matanya tanpa berkata apapun, kontak mata ku dengannya seolah menyiratkan sesuatu, seolah tau ia menangis karena melihat si kucing diperlakukan demikian. Ia bercerita padaku tentang kejadian yang ia lihat tadi, bagaimana si kucing di lempar batu, bagaimana si kucing di tending, dan bagaimana-bagaimana lainnya. Tangisnya tumpah tak bisa ditahan lagi, padahal si kucing dalam keadaan baik-baik saja, masih asik menikmati belaian Kania pada bulu-bulunya. Aku jadi teringat pada kisah Rasulullah, dan kucing kesayangannya, yang membuat Rasulullah lebih memilih melubangi jubah tempat kucingnya tidur ketimbang membangunkan si kucing demi mengambil jubahnya.

Setelah reda tangisnya, ia segera pergi ke kantin, memesan nasi putih dan ikan goreng. Ia kembali ke kelas, mengaduk-ngaduk nasi dan ikan pesanannya, mencampurnya menjadi satu. Teman-teman lain yang menyaksikan bertanya-tanya apa yang sedang ia lakukan, ia tak bercerita, takut tangisnya tumpah lagi. Setelah dirasa campurannya sudah merata, ia memberikan makanan pesanannya itu pada si kucing, menjauh dan membiarkan si kucing makan, meski tetap ia awasi dari kejauhan. Teman-teman yang bertanya-tanya tadi seolah langsung mengerti dan ber-oh panjang bersama.

Hati Kania lembut sekali. Aku merasakan sayangnya tulus pada kucing itu. Entah hanya Kania, atau memang semua para penyayang akan berlaku seperti itu. Tapi hari ini Aku dapat pelajaran lagi.. Allah memberikan kita perasaan sayang, dan rasa untuk saling menyayangi, tapi ternyata sayang itu tak terbatas pada manusia saja. Juga pada hewan dengan tidak berlaku jahat padanya, bahkan membunuh hewan-hewan pun harus ada adab dan sebab-sebabnya, meski itu seekor kecoa. Juga pada tumbuhan, dengan tidak menginjak rumput atau memetik bunga sembarang sesuka hati. Kau pernah mendengar cerita tentang pohon tua di Pulau Solomon? untuk menebangnya, tak perlu gergaji, parang, atau perkakas lainnya, cukup kau caci maki dan sumpah serapahi saja ia setiap hari, ia akan mati dengan sendirinya. Ternyata mereka pun punya perasaan.

sumber : klik

0 komentar:

Posting Komentar