Kamis, 14 Januari 2016

Dari Senja Kepada ... #1

Dari Senja Kepada Malam...
Hai Malam, taukah kamu? Hari ini perangai Senja buruk sekali. Ia sendiri bingung, menjadi separadoks itu, seperti tak tahu lagi yang mana salah, yang mana benar, yang mana yang harus ia jawab iya, yang mana yang harus ia jawab tidak, yang mana yang berdasar hati, yang mana yang berdasar logika. Bukan plin-plan, kadang tiba-tiba pikirannya berubah secepat itu. Senja bingung, ia menjadi kesal pada dirinya sendiri.

Pagi tadi, ia berhasil membuat salah satu sahabatnya, Bulan (mungkin) sakit hatinya, niatnya mungkin baik, namun caranya salah. Alih-alih menyelamatkan Bulan menurut versi Senja, justru ia menjadi orang pertama yang membuat harinya Bulan buruk ; pun berdampak pada harinya Senja. Ia menjadi terus-terusan tak enak hati seharian ini.
Baik buruk memang relatif. Baik menurut Senja, namun tidak menurut Bulan.

Lalu siangnya, ia bertemu dengan Kakak Matahari, Senja memutuskan untuk menceritakan tentang Ibundanya, tentang keluh kesahnya di rumah. Senja menjadi kesal pada dirinya sendiri. Selama ini, ia selalu merasa bahwa ibunya, ayahnya, keluarganya, berbeda dengan orang-orang kebanyakan, tak ada yang bisa dibangga-banggakan, bukan merupakan sosok keluarga yang ideal. Namun kemudian ia sadar, mungkin karena dirinya sendiri bukan merupakan anak perempuan yang ideal. Lantas, jika dirinya pun jauh dari kata ideal, bahkan mencoba menjadi ideal saja tidak mau, pantaskah ia mengharapkan keluarga yang ideal? Akhirnya, tangisnya pecah di depan Kakak Mahatari.

Kakak Matahari mencarikan solusi, Senja diajari ilmu baru, yang harapannya, dari ilmu yang diajarkan padanya itu, sedikit banyak bisa menjadi solusi bagi cerita-cerita Senja padanya. Senja girang bukan main. Memang tak salah lagi, Kakak Matahari, memang selalu menjadi Matahari baginya ; tak tergantikan. Selamanya.

Kemudian datang Ibu Cahaya, meminta bantuan Senja mengajar anak didiknya sore itu, tidak terlalu sulit memang, Matematika. Senja suka pelajaran itu. Si Anak didik sepantaran dengan Adik Senja, lantas ia kembali berfikir, adiknya di rumah, tak pernah ia temani belajar, sesekali adiknya bertanya, lantas Senja menjawab seadanya, hanya mentransfer ilmu, bahkan tak memastikan apakah adiknya paham atau tidak, sementara di situ, ia mengajar anak orang lain dengan sabar dan telatennya. Hanya karena dibayar? hanya karena tak enak pada Ibu Cahaya? Akhirnya ia mengajar, hanya mengajar. Tak ada semangatnya disitu, meski memang senyumnya tetap mengembang di bibirnya, mengajar dengan cara pintas dan metode sendiri seperti kebiasaannya, namun jiwanya tidak disitu, seringkali ia melirik jam, berharap segera berakhir. Saat itu, ia makin kesal pada dirinya sendiri.
Hal ini baik, mengapa menjadi tidak baik untuk sisi lain batinnya?

Sore berangsur pergi digantikan malam. Senja kembali mengajar, malam ini memang jadwalnya bertemu peri-peri kecil, sesekali mendengarkan celoteh mereka satu persatu. Ada yang bercerita tentang sekolahnya, ada yang bercerita tentang kejadian apa yang ia alami hari ini, ada pula yang bercerita tentang kemarin ketika jadwal mengajar bukan gilirannya Senja.

Peri-peri kecil minta bermain saja malam ini, tidak usah tambah hafalan, tidak usah mengeluarkan Al-Quran untuk dibaca, "kan kemarin sudah baca Quran, ka Senja" kata seorang peri kecil. Namun Senja bingung, hendak memainkan permainan apa lagi? Mengapa setiap jadwalnya mengajar, peri-peri kecil ini meminta untuk bermain? "Hei, coba manfaatkan keberadaan kakak Senjamu ini adik-adik. Kalau ingin bermain, untuk apa ada Kakak disini? Memangnya permainan kalian butuh guru?", dalam hatinya mengeluh.

Memang tak ia keluarkan kata-kata itu, tapi cerminan kata-kata itu terlihat jelas di wajah Senja. Di saat itu, mungkin puncak kekalutannya tersalurkan, ia meledak. Bak tumpukan mercon yang hanya perlu dimantik api kecil untuk terbang bebas melesat ke langit. Ia geram, ia memang tak memarahi peri-peri kecil, namun ucapan-ucapan yang keluar dari bibir Senja mungkin menyakitkan mereka, entahlah, ia tidak mengingatnya. Yang ia tahu, beberapa di antara peri-peri kecil itu, basah matanya, air matanya mengembang, menahan tangis. Alih-alih menurut, mereka akhirnya mengelurkan Qur'an, Senja menemani mereka membaca Qur'an, membenarkan bacaan yang salah. Mereka tetap membaca, meski senyum tak lagi tersungging di bibir mereka seperti pertama tadi.

Ah! Lagi-lagi ia kesal pada dirinya sendiri kala itu. Lengkap sudah malam ini. Mengapa harus melibatkan orang lain jika ia hanya kesal pada dirinya sendiri? Apa salah peri-peri kecil ini? Mengapa tak menuruti mereka saja? Tetap bermain namun menyelipkan hikmah-hikmah positif dari tiap permainan itu; seperti yang Senja lakukan sebelum-sebelumnya. Mengapa? Kenapa? Ada apa dengan dirinya?

Pulangnya, ia menemui Adiknya, ingin menemani adiknya belajar malam ini. Namun yang ingin ditemui sudah pulas terlelap dalam tidurnya. Lalu Senja menemui Sang Ibu, ingin meminta maaf, namun keberaniannya masih kalah besar dibanding egonya saat itu. Terlalu sulit baginya merangkai kata, untuk kemudian ia katakan pada Ibundanya, entahlah, ia terlalu ragu, terlalu besar juga gengsinya. "Lain kali saja jika timing-nya tepat", kata batinnya, ia menuruti perkataan batinnya itu.

Hai malam, buruk sekali perangai Senja malam ini. Kau yang mendengarkan keluh kesahnya saja ikut menjadi bertanya-tanya, kan? Sama. Senja pun. Bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Sebenarnya, apa yang terjadi pada dirinya?

----
#WritingChallenge tetap ku lakukan, namun tidak setiap hari. Ternyata banyak kendalanya, bukan hanya soal paket internet atau keberadaan laptop, tetapi lebih dari itu. Lain kali akan ku ceritakan kendala-kedalanya, tentunya setelah selesai 31 hari.


0 komentar:

Posting Komentar