Rabu, 24 Februari 2016

Teori Jangan-Jangan

Berdasar prasangka akan suatu realita, dibarengi banyak praduga, "teori jangan-jangan", katanya.

Jangan-Jangan #1

Satu kesatuan garis-garis warna kini bukan lagi hanya merepresentasikan pelangi, tetapi juga LGBT, meski urutan warnanya berbeda. Banyak perdebatan, baik yang pro mendukung atau yang kontra menolak. Kalau ditanya Aku berada dimana, Aku kontra dan menolak, alasannya karena agama, udah. titik, gak perlu didebat.

Nah, karena isu LGBT lagi marak-maraknya, dimana-dimana, terutama di sosial media, misalnya seperti emoticon-emoticon di platform WhatsApp terbaru, stiker Line (yang sudah dihapus), beberapa stiker di Facebook, juga di Blackberry Messenger. Mau apa? boikot terus gak pakai lagi? kayaknya susah juga ya? Secara kita udah ketergantungan banget sama itu semua.
Tapi yang jadi sorotan kali ini bukan hal itu sih...

Gini, karena sekarang kalau kita melihat dua orang sesama perempuan, atau sesama laki-laki, sedang berdua, dan terlihat dekat, kadang pikiran kita udah mengarah kesitu aja, "jangan-jangan....". Nah, ketika melihat dua orang berbeda jenis kelamin, satu laki-laki sedangkan satunya lagi perempuan, sedang berduaan, tiba-tiba pikiran berkata, "Setidaknya mereka normal."

Ibaratnya, kita melupakan bahaya plastik terhadap lingkungan karena ternyata styrofoam lebih berbahaya daripada plastik. Padahal kita tahu bahwa plastik juga berbahaya, tetapi jadi "biasa" ketika ada styrofoam yang lebih berbahaya.

LOH! Padahal kan?!
Padahal kan.......berdua-duaan dengan lawan jenis yang belum halal juga bukan merupakan sesuatu yang diperbolehkan, meski (katanya) ada ikatan, yang sebenarnya bukan ikatan, karena antar ayahmu dan calon ayah anak-anakmu belum saling ijab kabul, hehehehehe

Nah, disitu teori jangan-jangan secara tiba-tiba menyeruak ke dalam pikiran, "Apa jangan-jangan issue LGBT ini ada, untuk 'membiasakan' kita? agar kita memberi 'pemakluman' dan malah mengucap 'syukur' jika melihat pasangan yang berbeda jenis kelamin meski belum sah? Apa jangan-jangan......."

***

Jangan-Jangan #2

Kita tahu, mulai 21 Februari 2016 kemarin, kantong plastik untuk berbelanja di beberapa Ritel modern sudah tidak lagi diberikan secara cuma-cuma ; kini berbayar. Untuk menekan banyaknya limbah plastik. 1 plastik seharga Rp. 200,- , banyak yang menyayangkan harga plastik yang terbilang sangat murah, karena menurut sebagian besarnya, Rp. 200,- itu di hari-hari sebelum 21 Februari adalah nominal yang biasanya mereka 'ikhlaskan' saja untuk didonasikan, jadi membayar Rp. 200,- untuk 1 kantong plastik? Gak masalah.

Kita ambil contoh, orang yang berbelanja di ritel seperti Hypermart diasumsikan menghabiskan 3 kantong plastik sekali berbelanja, cuma enam ratus rupiah. Di ritel sekelas Alfamart asumsikan 1 kantong sekali belanja, cuma dua ratus rupiah. Alih-alih menggunakan kantong belanja yang bisa dipakai ulang (re-usable), plastik tetap digunakan, cuma beberapa ratus rupiah. Buat pribadi gak berpengaruh banget, kan? Lah biasanya juga didonasikan. Daripada mesti repot-repot bawa kantong belanja sendiri.

Tapi coba dihitung, satu orang memakai 3 kantong plastik, enam ratus rupiah, dikali banyaknya orang yang berbelanja di Hypermart dalam satu hari, lalu hasilnya dikali banyaknya cabang Hypermart di seluruh Indonesia. Wah! udah bukan cuma enam ratus rupiah lagi.

Plastik yang tadinya gratis, kini jadi 'menguntungkan', jadi semacam 'produk' yang dijual dan 'menghasilkan'.

"Jangan-jangan ini bukan benar-benar gerakan menekan penggunaan kantong plastik, tapi cuma tameng...yang sebenarnya adalah strategi bisnis. Dagang. Apa jangan-jangan......"
***
Jangan-jangan..............

0 komentar:

Posting Komentar