Sabtu, 07 Maret 2015

Balon dan Kematian




Katamu Kau takut balon, terlebih ketika mendengar letusan suaranya.
Tapi ketika Aku lihat, wallpaper handphone-mu bergambar balon.
Kau mencoba menghadapi ketakutanmu atau kau membohongiku?

Lalu kau berkata,
"Aku memang takut balon, Tik. Apalagi kalau ia akan meletus dan Aku menyaksikan proses ia akan meletus. Entah memang sengaja ditekan, ditusuk jarum atau terjemur panasnya matahari. Kau bisa membayangkannya tidak?
Tapi Aku suka balon yang masih utuh, masih penuh udaranya, yang jika kulepas talinya, ia terbang tinggi, seperti balon yang kujadikan wallpaper handphone-ku saat ini. Aku serasa melangitkan harapanku, tinggi.
Dan adapun ketika ia tidak kuterbangkan, anak kecil berebut memilikinya. Keberadaan balon di depan anak kecil bisa membuat ia yang semula menangis menjadi ceria lagi."

Aku berdehem lumayan panjang dan mengambil kesimpulan, "Kau takut menyaksikan balon itu pecah, sesuatu yang ada lalu tiba-tiba menghilang? Kurasa kau hanya belum berani kehilangan.
Lalu bagaimana dengan kematian? Bukankah kita sepakat bahwa kematian adalah kehilangan yang paling menyakitkan. Terlebih itu terjadi pada orang tersayang.
Lalu bagaimana jika itu terjadi pada kita? Adakah orang lain merasa takut setakut kita merasa takut kehilangan mereka?"

Katamu lagi, "Iya benar. Tapi tak perlulah kita memikirkan itu. Yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana caranya memilih seni kematian kita? Dan Aku jadi berpikir, sudah cukupkah amal kita untuk menjadi bekal?"

Aku dan Kamu sama-sama terdiam.
Terimakasih telah menjadi pengingat setia.

***
Monolog
Atika Widiastuti

0 komentar:

Posting Komentar